KONSEP FILSAFAT
Konsep Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy,
adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang
terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan,
tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat
berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos
(filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan
arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud,
yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang
memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang
independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang
menyebut diri merekan sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan.
Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan
hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami
reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati
dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang
dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah
filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti
segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada
dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis
mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu
pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak);
(2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Secara umum filsafat berarti upaya
manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis.
Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatumn
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.
Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin,
2001).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan
merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika
seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia
sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan
bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari
proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika
ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof
adalah:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik
serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara
nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan
sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa
yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat
ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan
Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya
Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan
lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk
mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat
ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok
penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah
ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
tercakup di dalamnya 4 persoalan:
a. Apakah yang dapat kita ketahui?
Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.
b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan?
Jawabannya termasuk dalam bidang etika.
c. Sampai di manakah harapan kita?
Jawabannya termasuk pada bidang agama.
d. Apakah yang dinamakan manusia itu?
Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal
ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari
sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu
ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa
sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates
menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria
tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu
apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan
menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah
lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat
spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat
dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang
sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki ketiga karakteristik
ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang
dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada
kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang)
hasil penelitian terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan
kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur
kosmos. “Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana
yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan,
yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah
selesai.m “ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai
cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betulbetul
terang”.
Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul
di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang
mulai berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa
filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu
seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani,
tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar
filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi
filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid
Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah
“komentarkomentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang
sangat besar pada sejarah filsafat.
Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang
menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan
meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat
biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam”.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa
dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi
orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional
pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang
ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme,
positivisme, dan filsafat analitik memberikan criteria bahwa pemikiran dianggap
filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi
yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan
kenyataan empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar
jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka
pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar
jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika
barat). Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian
besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b)
bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), (c)
bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya
dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat
analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi
juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat
yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang
empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat
diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik
sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan,
aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang
berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat
analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan
sistem bahasa buatan.
2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik”
yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan
empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan
pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi
yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus
kita teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni,
apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat
diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal
terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci
lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita
berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang
harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan
mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan,
jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di
sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum
dan yang khusus.
3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak
pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan
manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah
menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni
aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita
pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan,
dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan
dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan
kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res
copgitans”.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi
yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan
daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat
timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang
lebih juga bias dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan,
tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada
agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan
lain-lain.
Pemikiran filsafat timur sering dianggap
sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal
ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat.
Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya
dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis
mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut
(Takwin, 2001). Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke
filsafattimur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme,
untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur
dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 2005). Skeptisisme terhadap
metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene Descartes dan William Ockham.
Filsafat Islam
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil
tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini
sebenarnya bias dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat
(Yunani). Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat
pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani
seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine
(354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480–524 M)
dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat
orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap
pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya
salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan
eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang
dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab
terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas
Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles
dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof
Islam (Haerudin, 2003).
Majid Fakhri cenderung mengangap
filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa
modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam
telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry
Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam.
Menurut Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1. Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan
filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah
menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta
penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al
Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196),
dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2. Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir
Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting
bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya
dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati
(nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
3. Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada
pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu
pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal
adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang
dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla
Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di
atas. Dalam Islam ilmu merupakan hal
yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata
jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu
wajib bagi setiap muslim.
Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani
dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah
ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada
pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin
Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena
alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi.
Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja
Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong
kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam
bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena
alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat
yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati
posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.